Sabtu, 18 Juni 2011

ilmu penyakit terapan

VIRUS TUNGRO PADA TANAMAN PADI

Sejarah dan Penyebaran Penyakit

Penyakit mentek yang telah lama diketahui menyerang tanaman padi di Indonesia merupakan penyakit yang sifat-sifatnya mendekati atau hampir sama dengan tungro (Ou, 1965). Outbreak yang terjadi pada tahun-tahun 1850-an dan beberapa kali kejadian serangan sebelum 1960-an (Van der Vecht, 1953) menunjukkan bahwa penyakit ini telah lama berkoevolusi dengan tanamaninangnya. Hal ini didukung oleh data tentang virus tungro dan tanaman inangnya. Virus-virus tungro memiliki banyak strain dan di Indonesia ditemukan lebih spesifik dan jumlahnya agak lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di negara-negara Asia Tenggara lainnya (Azzam et al., 2000a dan 2000b). Di samping itu suatu laporan menyebutkan bahwa varietas-varietas padi lokal tahan tungro berasal dari Indonesia, seperti Utri Merah, Utri Rajapan, dan Balimau Putih (Cabunagan and Koganezawa, 1993). Daerah-daerah pusat kejadian penyakit dan pusat perkembangan spesies tanaman biasanya merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya genetika (Leppik, 1970), misalnya sumber ketahanan terhadap tungro. Selain itu, di Indonesia tungro dengan nama lain/daerah telah lebih dahulu populer di daerah langganan (endemik) tungro, seperti penyakit habang (Kalimantan), cellapance (Sulawesi Selatan), atau kebebeng (Bali). Penyebarannya mula-mula terbatas di daerah tertentu seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, terjadi ledakan penyakit tungro di Bali, selanjutnya meluas ke Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Penyakit tungro juga terdapat di beberapa negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Muangthai, dan Vietnam; dan ditemukan juga di Cina, India, Bangladesh, Srilanka, dan Nepal. Sedangkan di Jepang terdapat penyakit virus padi yang disebut penyakit "Waika" yang ditemukan tahun 1978 di daerah Kyushu, wilayah Jepang bagian Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh virus waika yang sekerabat dengan RTSV dan juga ditularkan oleh wereng hijau (Saito, 1979).
 Etiologi
Tungro merupakan penyakit padi yang kompleks, disebabkan oleh dua jenis virus yang secara taksonomis berbeda satu dengan lainnya, yaitu virus batang tungro padi (rice tungro bacilliform virus, RTBV) dan virus bulat tungro padi (rice tungro spherical virus, RTSV) (Hibino et al., 1991; Jones et al. 1991). Kedua virus ditularkan secara semi persisten oleh beberapa spesies wereng hijau dan wereng daun lainnya (Ling, 1969; Hibino et al., 1978).
RTBV berbentuk batang dan berukuran (150-350) x 35 nanometer (nm) (Hibino et al., 1978; Hibino et al., 1991). Tiap partikel virus mempunyai asam deoksiribonukleat berutas ganda (double-stranded deoxyribonucleic acid, ds- NA) yang melingkar dan dengan besaran genom kurang lebih 8,5 kpb (kilopasangbasa). Karena cara replikasinya dengan transkripsi terbalik, RTBV merupakan pararetrovirus. Pernah ditetapkan sebagai anggota dari genus badnavirus (Hull, 1996), tetapi RTBV kini digolongkan dalam kelompok sementara “RTBV-like group” di bawah famili Caulimoviridae (Mayo dan Pringle, 1998). Laporan hasil penelitian jaringan tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro dengan menggunakan elektron mikroskop (Sta Cruz et al., 1993) menunjukkan bahwa partikel RTBV dapat ditemukan di dalam pembuluh tapis (floem) maupun dalam pembuluh kayu (silem).
RTSV berbentuk bulat dengan garis tengah 30 nm (Hibino et al., 1991; Jones et al., 1991). Paket genetik virus ini terdiri atas asam ribonukleat berutas tunggal (single-stranded ribonucleic acid, ss-RNA) yang mengandung poly-A dan berukuran 12 kb (kilobasa). Menurut Mayo dan Pringle (1998), RTSV mempunyai genus Waikavirus dan di bawah famili Sequiviridae; tatanamanya ialah rice tungro spherical waikavirus. Berdasarkan kesamaan fiturnya dengan “animal picornavirus”, maka virus ini pun dikenal sebagai pikornavirus tanaman. Berbeda dengan RTBV, partikel RTSV ditemukan terbatas di dalam pembuluh tapis (floem) saja (Sta Cruz et al., 1993).
RTBV dan RTSV tidak ditularkan melalui telur serangga vektornya, dan juga tidak dapat menular melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat) (Ling, 1969). RTBV dan RTSV mempunyai beberapa vektor dari spesies wereng hijau Nephotettix cinticeps, N. malayanus, N. nigropictus, N. virescens, dan N. Parvus serta wereng loreng Recilia dorsalis; dibandingkan dengan spesies lainnya N. virescens Distant merupakan vektor yang paling efisien (Ling, 1972). N. virescens bertelur dalam kelompok hingga berjumlah 44 dan diletakkan di dalam jaringan pelepah daun tanaman padi (Cheng dan Pathak, 1971). Daur hidup wereng hijau dari fase bertelur, menetas, menjadi nimfa (pradewasa) dengan lima stadia, hingga dewasa membutuhkan waktu rata-rata 25 hari, sehingga mungkin ditemukan 11 generasi di daerah yang ditanami padi sepanjang tahun.
Nimfa N. virescens dilaporkan tidak menularkan virus-virus tungro setelah ganti kulit, tetapi kemampuannya itu akan datang kembali setelah mencucuk dan mengisap cairan tanaman sakit (makan perolehan/akuisisi virus). Waktu yang dibutuhkan serangga ini untuk menularkannya sangat singkat dimana waktu minimum untuk makan akuisisi dan makan inokulasi (penularan virus pada tanaman sehat), masing-masing lima dan tujuh menit. Walaupun dapat bertahan dalam tubuh vektor dua hingga enam hari (masa retensi), virusvirus
tungro tidak terbukti masuk dan mengikuti sirkulasi darah vektor; hubungan virus-vektor demikian disebut nonsirkulatif. Para peneliti menganggap bahwa virus-virus yang tergolong nonpersisten atau semipersisten menghuni atau menempel pada bagian alat mulut (cucuk) serangga vektor atau ”styletborn” (Hibino, 1995). Hasil penelitian terkini pada caulimovirus, anggota dari famili Caulimoviridae, menunjukkan bahwa antara protein virus P2 dan reseptor
dari sel vektor berinteraksi di bagian ujung dari cucuknya (Uzest et al., 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa situs pengikatan protein itu sangat spesifik dan tidak ditemukan pada serangga nonvektor. Di masa yang akan datang penelitian tentang hubungan virus-vektor ini diharapkan dapat membuka tabir ilmiah dan memfasilitasi perakitan teknik pengendalian tungro yang lebih efektif.
Epidemiologi
Perkembangan penularan RTBV dan RTSV pada tanaman padi di lapang dilaporkan oleh Hasanuddin dkk. (1999). Tanaman padi terinfeksi RTSV terdeteksi lebih awal dari RTBV. Tanaman sakit ini terdeteksi sejak tanaman berumur dua minggu setelah tanam (MST). Tingkat infeksi pada saat awal hanya 10%, selanjutnya meningkat terus sampai 80% saat tanaman umur 6 MST. Tanaman terinfeksi RTBV baru terdeteksi saat tanaman umur 4 MST. Gejala visual infeksi tungro telah jelas terlihat pada saat kedua virus telah terdeteksi. Perkembangan komposisi virus tersebut juga terjadi di Filipina seperti laporan Tiongco et al. (1988). Wereng hijau yang dapat menularkan RTSV telah terdeteksi di pertanaman yang berumur 2 MST. Dengan demikian diketahui sejak awal wereng hijau imigran yang membawa RTSV telah mampu membantu penyebaran RTBV.
Komposisi spesies wereng hijau di lapang dapat mempengaruhi intensitas serangan virus tungro. Pergeseran dominasi spesies ke arah spesies yang efisien penularannya, wereng hijau N. virescens, maka potensi infeksi tungro semakin tinggi (Hibino dan Cabunagan, 1986)
Virus tungro tidak memberikan pengaruh negatif kepada vektor. Apabila inokulum virus sudah ada di lapang, keberadaan tungro dipengaruhi olehfluktuasi vektor. Dengan demikian dinamika populasi vektor penting dipahami untuk menyusun strategi pengendalian penyakit tungro. Infeksi tungro dapat terjadi mulai di persemaian. Pada stadium ini tanaman sangat sensitif terhadap infeksi virus. Apabila infeksi terjadi pada stadia awal pertumbuhan maka gejala tungro akan tampak pada tanaman umur 2–3 MST. Tanaman muda yang terinfeksi merupakan sumber inokulum utama setelah padi ditanam di lapang. Selama satu periode pertumbuhan tanaman padi terjadi dua puncak tambah tanaman terinfeksi yaitu pada saat 4 dan 8 MST (Suzuki et al., 1992).
Puncak infeksi pertama disebabkan oleh serangga imigran pada 2 MST, sedangkan puncak infeksi kedua disebabkan infeksi yang terjadi saat 6 MST oleh keturunan serangga imigran. Sumber inokulum penyakit tungro terdapat pada bibit dari ceceran gabah terinfeksi (voluntir), tanaman, ratun serta mungkin rumput inang yang sakit. Tanaman inang tungro selain padi, yang sudah diketahui adalah: rumput belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum distichum) dan padi liar. N. virescens hanya dapat berkembang dengan baik dan menjadi penular yang efisien pada padi. N. nigropictus dapat berkembang pada padi maupun rerumputan, meskipun berkembang dengan lebih baik pada rerumputan. N. nigropictus dapat menularkan virus dari rerumputan ke tanaman padi.
Interaksi Virus-Vektor-Inang
Di dalam patosistem tungro, RTBV dan RTSV, N. virescens dan tanaman padi berinteraksi secara spesifik dan unik (Hibino, 1995). Tanaman padi merupakan inang utama virus-virus tungro dan N. virescens. Varietas padi yang rentan dapat terinfeksi ganda (RTBV + RTSV), tetapi pada varietas yang agak tahan ditemukan juga tanaman yang terinfeksi tunggal, baik oleh RTBV ataupun RTSV. Hal ini menunjukkan bahwa replikasi kedua virus tidak saling bergantung antara satu dengan lainnya. RTSV dapat ditularkan langsung oleh wereng hijau dari tanaman yang terinfeksi tunggal (RTSV) atau dari yang terinfeksi ganda. Sedangkan penularan RTBV dilaporkan mempunyai pola yang berbeda, karena ternyata RTBV tidak dapat langsung ditularkan oleh werenghijau dari tanaman yang terinfeksi RTBV saja. Setelah makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTSV atau pada tanaman terinfeksi ganda, wereng hijau akan dapat menularkan RTBV. Dalam hal ini RTSV dianggap membantu penularan oleh vektor untuk RTBV. Kekecualian dalam sistem penularan dapat dibaca di bawah subjudul teknik agroinokulasi.
Di dalam tanaman yang terinfeksi tunggal (RTSV) maupun yang terinfeksi ganda telah diproduksi “helper factor” atau “helper protein” yang mungkin disandi oleh suatu gen dalam genom RTSV, dan protein ini tidak ditemukan pada tanaman yang terinfeksi RTBV saja (Hibino et al., 1978). Pengetahuan ini penting untuk diketahui, karena dapat dijadikan sebagai dasar dalam merakit strategi pengendalian tungro, di antaranya teknik eliminasi sumber inokulum RTSV. Pada prinsipnya RTSV membantu penyebaran tungro, sedangkan RTBV berperan dalam menginduksi gejala tungro.
Gejala Penyakit Tungro
Tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro umumnya tampak kerdil dan menunjukkan adanya diskolorasi daun yang bergradasi dari kuning hingga jingga (Ou, 1972). Sebenarnya tingkat keparahan gejala penyakit ini sangat bervariasi bergantung pada umur tanaman, varietas padi dan strain atau komposisi virus yang menginfeksi. Makin rentan varietas padi dan makin muda umur tanaman terinfeksi, makin parah gejala yang ditimbulkan, demikian pula sebaliknya. Interaksi kedua virus tungro dapat menyebabkan gejala penyakit yang parah. Sebaliknya pada kasus infeksi tunggal gejala yang ditimbulkan sedang-sedang saja (oleh RTBV) atau bahkan tidak jelas, karena tanaman tampak sehat, walaupun agak kerdil (oleh RTSV) (Hibino, 1983).
Lebih lanjut Rivera and Ou (1965) dan Ling (1969) menguraikan bahwab gejala penyakit tungro umumnya muncul kurang lebih seminggu setelah inokulasi, dimulai dari adanya diskolorasi kekuningan pada ujung daun muda, kemudian diikuti klorosis di antara vena daun. Tanaman yang sakit parah mempunyai anakan sedikit, pertumbuhan akar terhambat, sangat kerdil, dan menghasilkan panikel yang kecil dengan bulir-bulir gabah kosong. Gejala penyakit akan persisten pada varietas yang rentan, sedangkan pada varietas yang agak tahan gejala tidak berkembang pada daun muda dan ada kecenderungan sehat kembali.
Serangan tungro di suatu hamparan sawah pada umumnya terlihat berkelompok, suatu indikasi bahwa waktu infeksi berbeda-beda. Sebaran tanaman sakit yang mengelompok dapat menyebabkan hamparan tanaman padi terlihat seperti bergelombang karena adanya perbedaan tinggi tanaman antara tanaman sehat dan sakit. Pada varietas yang agak tahan, setelah petani memberikan tambahan pupuk nitrogen, pertanaman padi yang semula sakit tampak seperti sembuh, menghijau kembali dan memberikan harapan untuk memperoleh hasil panen, walaupun sebenarnya virus-virus tungro masih tetap ada dan berkembang di dalamnya. Yang sering terjadi pada varietas yang rentan, pertanaman tampak merana sampai waktu panen atau sampai ada usaha sanitasi untuk menghilangkan sumber penyakit. Pada kasus yang lain apabila pertanaman padi terhindar dari infeksi sampai umur dua bulan, maka virus-virus tungro tidak akan mengakibatkan kerusakan tanaman dan kehilangan hasil panen (Ling, 1972; Pathak, 1972).
Teknik Deteksi dan Diagnosis Penyakit
Di lapang/sawah, tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro seringkali memperlihatkan gejala penyakit tungro yang jelas. Berdasarkan pengetahuan ini, hasil pengamatan gejala penyakit dan juga ditambah dengan data populasi vektor (wereng hijau) pada prinsipnya dapat digunakan untuk menetapkan (diagnosis) bahwa suatu tanaman terserang virus-virus tungro. Mengingat unsur kemudahannya, metode ini banyak digunakan, meskipun bersifat sementara. Untuk lebih menguatkan lagi dalam penetapan penyakit, biasanya dilakukan uji penularan atau bioassay, baik dengan menggunakan wereng hijau yang diambil dari tempat kejadian serangan maupun yang sengaja dipelihara untuk keperluan penularan. Beberapa kelemahan pada sistem ini, seperti jika ditemukan adanya gejala penyakit yang tidak spesifik, karena ada penyebab lain (seperti penyakit kerdil rumput strain 2 (Hibino, 1996) yang menghasilkan gejala seperti tungro, dan waktu (dua minggu) yang dibutuhkan bioassay cukup lama.
Virus-virus tungro dapat juga dideteksi dengan teknik berbasis pada kelainan fisiologis penyakit tanaman (yodium), serologi (lateks dan enzymelinked immunosorbent assay, ELISA), molekuler (berbasis polymerase chainreaction, PCR) dan mikroskop elektron (Bajet et al., 1985; Hibino, 1996; Muhsin, 1999a dan 1999b; Takahashi et al., 1993). Deteksi dengan yodium adalah warna hitam untuk positif dan warna coklat muda untuk negatif. Teknik ini termasuk sederhana dan kurang spesifik. Teknik serologi seperti uji lateks, parafilm mini ELISA, RIPA, dan ELISA bekerja berdasarkan pada afinitas antibodi yang spesifik hanya mengikat virus-virus tungro, sehingga hasil uji ini dapat membedakan tanaman yang terinfeksi RTSV dan RTBV. Teknik serologi ELISA tergolong yang paling banyak digunakan untuk deteksi virus baik untuk skrining varietas, maupun untuk studi epidemiologi, karena sensitif, relatif cepat (hitungan jam), mudah dilakukan, bahkan untuk contoh tanaman dalam jumlah banyak. Tingkat sensitivitasnya cukup tinggi, yaitu dapat mendeteksi virus pada tingkat pengenceran ekstrak daun sampai 1.000 kali. Selanjutnya tentang teknik PCR yang mempunyai cara kerja mengamplifikasi beberapa saja potongan DNA/RNA target, kemudian mendeteksi produk PCR-nya dengan mengelektroforesis pada gel agarose dan pengecatan etidium bromida. Dengan teknik ini konsentrasi virus yang kecil sekalipun dapat dideteksi dan tingkat sensitivitasnya 1.000-10.000 kali lebih teliti dari hasil ELISA. Mungkin PCR tergolong teknik yang peka dan mahal. Teknik lain yang sangat tergantung pada alat mikroskop elektron, ialah metode “leaf dip” ataupun metode gabungan dengan serologi (ISEM) dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, karenakita dapat melihat langsung partikel virusnya.
Teknik Agroinokulasi
Dasgupta et al. (1991) dan Sta. Cruz et al. (1999) melaporkan bahwa cara agroinokulasi dapat digunakan dalam penularan RTBV secara independen. Caranya meliputi pengklonan genom RTBV, perekatan klon tersebut ke dalam plasmid Ti yang diperoleh dari bakteri Agrobacterium tumifaciens strain C58 yang telah dihapus fungsi onkogeniknya, pengintegrasian plasmid ke dalam genom A. tumifaciens dan perbanyakan biakan bakteri murni yang mengandung genom RTBV yang dapat menular saja. Untuk melakukan agroinokulasi, biakan infektif diperbanyak di dalam media cair (Luria Broth), setelah tumbuh sesuai yang dikehendaki biakan diendapkan dan dilarutkan dalam air murni steril. Sediaan sudah siap disuntikkan (diinokulasikan) ke pangkal batang tanaman padi muda. Tanaman uji akan menghasilkan gejala khas tungro dan dapat dideteksi dengan cara serologi (ELISA) atau cara molekuler (PCR). Sebagai catatan penting, pascaproses agroinokulasi telah terjadi suatu pembentukan partikel virus, dari bahan yang semula hanya nukleotida yang terintegrasi pada plasmid. Secara teknis cara ini dapat digunakan untuk uji ketahanan varietas padi. Akan tetapi, selama ini penularan dengan cara agroinokulasi pada beberapa varietas yang toleran belum menghasilkan varietas yang terhindar dari infeksi RTBV atau semua varietas uji tergolong tidak tahan. Kontroversi ini mungkin perlu dicermati, karena tujuan inokulasi ialah untuk memperoleh hasil infeksi RTBV yang setara dengan tingkat infeksi alamiah. Selain itu cara agroinokulasi hanya dapat dilakukan dengan pengawasan ketat, yaitu dilakukan di rumah kaca yang mempunyai fasilitas khusus (containment laboratory). Hal ini perlu ditekankan, karena bakteri A. tumifaciens yang mengandung genom RTBV yang merupakan hasil rekayasa genetika dianggap sangat berbahaya kalau sampai terlepas di alam bebas.
Pengembangan Komponen Pengendalian
Pengendalian penyakit tungro dilakukan dengan mengintegrasikan komponen-komponen pengendalian dalam satu sistem yang dikenal dengan konsep pengendalian penyakit secara terpadu. Usaha tersebut meliputi cara bercocok tanam, penanaman varietas tahan, menghilangkan atau mengurangi sumber virus (eradikasi), dan penggunaan pestisida (Pathak, 1972; Sama et al., 1982; Singh, 1969; Shukla dan Anjaneyulu, 1981). Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, usaha pengendalian penyakit virus tungro dilakukan dengan mengatur waktu tanam yang tepat untuk penanaman musim hujan dan musim kering, mengadakan pergiliran varietas yang memiliki gen tahan wereng dan menggunakan insektisida (Mochida et al., 1975).
Tanam Serempak
Tanam serempak dapat memperpendek waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu perkembangbiakan. Tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu berkembang biak vektor penular patogen. Untuk mengurangi serangan penyakit tungro, tanaman serempak dianjurkan minimal luasan 20 ha berdasarkan gradasi penyebaran penyakit (disease gradient) dari satu sumber inokulum (Widiarta dkk., 1997).

 Waktu Tanam Tepat
Tanam pada saat yang tepat dimaksudkan untuk membuat tanaman terhindar dari serangan pada saat tanaman peka. Waktu tanam tepat digunakan untuk mengendalikan penyakit tungro (Sama et al., 1982 dan 1991). Tanaman padi diketahui peka terhadap infeksi virus tungro saat tanaman berumur kurang dari satu bulan setelah tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas serangan tungro sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman paling serius oleh penyakit tungro. Waktu tanam diatur sehingga pada saat ancaman tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari 1 bulan setelah tanam. Waktu tanam tepat hanya efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola tanam serempak. Waktu tanam serempak berhasil mengendalikan luas serangan tungro di Sulawesi Selatan, namun sulit untuk diterapkan pada daerah yang tanam padinya tidak serempak seperti di Bali. Waktu tanam yang tepat dapat menghindarkan tanaman dari serangan wereng maupun infeksi virus tungro (Sama et al., 1982; Yulianto dan Hasanuddin, 1997). Di Maros, penanaman padi pada awal musim hujan (Desember–Januari) atau musim kemarau (Juni–Juli) dapat terhindar dari serangan wereng dan tungro yang serius (Sama et al., 1982).
Varietas Tahan
Secara garis besar ketahanan terhadap tungro dapat diklasifikasikan sebagai varietas tahan terhadap vektor, tahan terhadap RTSV dan RTBV (Imbe, 1991; Tabel 1). Varietas tahan tungro dapat dirakit secara konvensional, konvensional plus marka molekuler, dan teknologi transgenik. Hasil perbaikan varietas tahan tungro pada awalnya diketahui hanya tahan terhadap vektornya, tetapi setelah metode ELISA diterapkan, yaitu suatu teknik yang dapat membedakan tanaman terinfeksi RTSV dan RTBV, perakitan varietas ini dapat lebih mudah dilakukan. Varietas tahan tungro yang sampai saat ini dilepas ke petani merupakan hasil pemuliaan dengan teknologi tersebut. Dengan majunya bidang biologi molekuler, maka penetapan ketahanan terhadap RTSV yang selama ini menggunakan metode inokulasi, dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler. Beberapa marka mikrosatelit, seperti RM 10, RM 70, RM 170, RM 190, RM 336, merupakan kandidat marka yang dapat digunakan untuk pemuliaan berbantuan marka. Teknologi transgenik, yaitu dengan mengintroduksi gen asing ke dalam tanaman padi. Di laboratorium Dr. R. Beachy (Amerika Serikat) gen asing seperti yang menyandi selubung protein dan yang menyandi replikase dari RTSV telah digunakan untuk merakit galur-galur padi tahan RTSV. Dalam uji ketahanan di laboratorium, galur-galur tersebut dilaporkan tahan terhadap RTSV (Huet et al., 1999; Sivamani et al., 1999). Sedangkan galur padi transgenik yang dirakit dengan tujuan tahan RTBV, ternyata pada uji penularan belum menunjukkan ketahanan yang diinginkan (Azzam et al., 1999). Hal ini berkaitan dengan adanya kendala yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Dengan teknologi transgenik pula para peneliti di India telah memanfaatkan gen yang menyandi zat toksik terhadap serangga hemiptera, yaitu lektin sebagai transgen untuk memperoleh tanaman padi tahan tungro (Saha et al., 2006). Penelitian ini menghasilkan galur padi transgenik tidak saja tahan vektor tungro, juga mempunyai sifat yang dapat mereduksi titer virus RTBV dan RTSV; akan tetapi Tanam jajar legowo menyebabkan kondisi iklim mikro di bawah kanopi tanaman kurang mendukung perkembangan patogen. Pada tanaman padi dengan sebaran ruang legowo, wereng hijau kurang aktif berpindah antar rumpun, sehingga penyebaran tungro terbatas (Widiarta dkk., 2003). Tikus lebih senang memakan tanaman yang berada di tengah petakan. Pada padi yang ditanam jajar legowo, tikus kurang betah untuk memakan tanaman. Begitu juga serangan penyakit hawar daun bakteri berkurang.
Pengairan
Pengeringan sawah dapat meningkatkan kematian nimfa wereng coklat. Akan tetapi bila tanaman padi terserang penyakit tungro, pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau untuk berpindah tempat. Pengeringan sawah yang terkena tungro akan mempercepat penyebaran penyakit.
Patogen
Patogen menginfeksi serangga (entomopathogent) sehingga menyebabkan kematian pada serangga. Patogen serangga ada tiga jenis yaitu jamur, bakteri dan virus. Patogen dari jenis jamur yang telah dikembangkan untuk mengendalikan wereng coklat, wereng hijau serta lembing batu adalah Metarhizium dan Bauveria. Jamur entomopatogen menekan penyakit tungro dengan triple actions melalui menekan kemampuan pemencaran wereng, secara langsung dapat mematikan, dan secara tidak langsung dengan pengurangan keperidian betina.
Pestisida
Penyemprotan pestisida dapat menekan populasi wereng hijau yang berarti akan mengurangi kecepatan penyebaran virus. Pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan wereng hijau ada yang dari jenis nabati dan anorganik. Bahan kimia yang dapat membunuh serangga yang diperoleh dari ekstrak tanaman seperti tembakau, akar tuba merupakan bahan yang sudah dikenal sejak lama sebagai pembunuh serangga. Tanaman yang digunakan untuk mengendalikan wereng hijau (insektisida nabati) misalnya nimba, sambilata (Mariappan dan Saxena, 1983; Widiarta dkk., 1997). Penggunaan insektisida anorganik sebaiknya berdasarkan pengamatan. Deteksi ancaman penyakit tungro dapat dilakukan pada waktu persemaian dan saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam. Pemantauan wereng hijau di persemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi kerapatan populasi wereng hijau. Di samping itu juga perlu dilakukan uji yodium untuk mengetahui intensitas tungro pada 20 daun padi 15

VIRUS MOSAIK PADA TANAMAN PALAWIJA
Kerusakan pada tanaman diketahui tidak hanya merupakan akibat dari serangan hama, namun dapat juga disebabkan karena gangguan penyakit. Secara biologi Penyakit tumbuhan adalah proses fisiologi yang tidak normal dalam badan tumbuhan, yang dapat menyebabkan kerugian langsung pada petani, karena dapat mengurangi kualitas dan kuantitas hasil. Penyakit yang menyerang tanaman biasanya menimbulkan gejala-gejala atau ciri khas sehingga dapat memudahkan untuk mengetahui penyakit yang menyerang tanaman. Selain Jamur, bakteri, nematode, virus juga merupakan salah satu pathogen yang menyerang tanaman. Salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus yaitu mosaik. Penyakit mosaik merupakan penyakit yang banyak ditemukan pada tanaman palawija maupun tanaman-tanaman yang lain.
Penyakit mosaik ini berdampak pada penurunan kualitas maupun kuantitas dari tanaman palawija. Penurunan hasil disebabkan karena terjadinya kelainan metabolisme tanaman yang terserang. 
Tanaman Inang
Penyakit mozaik merupakan penyakit yang memiliki kisaran inang yang sangat luas. Hampir semua tanaman padi dan palawija menjadi inang dari penyakit ini. Tebu, jagung, kacang hijau, kedelai (Bean yellow mosaic virus), tanaman solanaceae (terung-terungan), ubi jalar, ubi kayu, mentimun (Cucumber Mozaik Virus), sorghum.
Gejala Serangan
Gejala serangan dari pathogen penyakit ini berupa bercak. Bercak yang timbul berupa perbedaan warna dari bagian tanaman yang terserang yaitu terdapat warna yang lebih muda. Pada serangan yang tinggi menyebabkan seluruh daun tanaman menguning. Gejala tersebut menyebabkan proses asimilasi terganggu. Tanaman yang terserang biasanya pertumbuhan tidak normal dan tanaman menjadi kerdil. Tanaman yang terserang memiliki gejala yang berbeda pada setiap tanaman.
Daur Hidup
Virus menginfeksi jaringan atau sel tanaman inangnya. Di dalam sel tanaman virus mereplikasi DNA tanaman menjadi DNA virus kemudian menyebar keseluruh bagian tanaman. Virus berpindah dari tanaman yang satu ke tanaman yang lain
Morfologi Partikel
Partikel virus penyebab penyakit mosaik kerdil jagung berbentuk batang lentur panjang berukuran 12-15 x 750 μm, termasuk ke dalam golongan potyvirus.

Penularan
Virus ini ditularkan secara mekanis oleh serangga vektor secara nonpersisten. Lebih dari 20 spesies aphis dilaporkan dapat memindahkan virus ini. Aphis daun jagung, Rhopalosiphum maydis (Fitch), kutu hijau, Schizaphis graminum (Rondani), dan aphis persik hijau, Myzus percicae (Sulzer).




DAFTAR PUSTAKA
Azzam, O. and T.C.B. Chancellor. 2002. The Biology, Epidemiology, and Management of Rice Tungro Disease in Asia. Plant Disease, 86: 88–100.
Azzam, O. et al. 1999. “Genetic Engineering of Rice for Tungro Resistance”. In Chancellor, T.C.B. et al (Ed.) Proc. Workshop Rice Tungro Dis. Manag. Los
Banos, Philippines: 39–44. 9–11 November 1998.
Azzam, O. et al. 2000a “Genetic Composition and Complexity of Virus Populations at Tungro-Endemic and Outbreak Rice Sites. Arch. Virol., 145: 2643–2657.
Azzam, O. et al. 2000b. “Genetic Diversity of Rice Tungro Spherical Virus in Tungro- Endemic Provinces of the Philippines and Indonesia”. Arch. Virol., 145: 1183– 1197.
Baehaki, S. E. 1999. Strategi Pengendalian Hama Wereng Coklat. Dalam Daradjat, A.A. et al (Ed.), Prosiding Hasil Penelitian Teknologi Tepat Guna menunjang Gema Palagung 54–63, Balitpa.
Bajet, N. B. et al. 1985. ”Enzyme-Linked Immuno-Sorbent Assay to Diagnose Rice Tungro”. J. Pl. Prot. Tropics, 2:125–129.
Cabunagan, R.C. and H. Koganezawa. 1993. “Geographical Distribution of Varieties Resistant to Rice Tungro Disease (RTD)”. Int. Rice Res. Notes, 18: 21.
Cheng, C.H. and M.D. Pathak. 1971. “Bionomics of the Rice Green Leafhopper Nephotettix impicticeps Ishihara”. The Philippines Entomologist, 2:67–74.
Chetanachit, D. et al. 1978. “Rice Ragged Stunt in Thailand. Int. Rice Res. Newsl., 3(4): 15.
Choi, I-L. 2004. “Current Status of Rice Tungro Disease Research and Future Program”. Dalam Hasanuddin, A. et al (Ed.), Strategi Pengendalian Penyakit Tungro: Status dan Program: Bogor: Puslitbangtan. 3–14.
Dasgupta, I. et al. 1991. “Rice Tungro Bacilliform Virus DNA, Independently Infects Rice after Agrobacterium-Mediated Transfer”. J. Gen. Virol., 72:1215–1221.

0 komentar:

Posting Komentar